Jumat, 15 April 2011

KONSEPSI PENDIDIKAN KRITIS ALA PAULO FREIRE


Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak afinitas dari paidagogik, yaitu membebaskan manusia secara comprehensive dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturasi nilai-nilai kehidupan. Ketika melihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagai mana yang tercantum dalam UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Pendidikan diartikan sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Dan dalam pasal 1 UU Sistem Pendidikan Nasional juga jelas memposisikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Dengan demikian manusia dengan pendidikan yang dijalaninya akan menjadi manusia yang berkepribadian utuh. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang agamis misalnya , rumusan kepribadian yang utuh itu tercermin dalam UU No. 2 th 1989 yang tentang Sistem Pendidikan Nasional pada prinsipnya tujuannya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seututuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
.
Dari sini jelas jika dilihat dari sisi prosesnya pendidikan itu mengarah pada pengembangan segala aspek potensi manusia untuk memenuhi kebutuhan dari seluruh potensi itu sendiri. Pengertian pendidikan secara umum ini jika dikaitkan dengan Islam, yang dilihat sebagai acuan tatanan kehidupan manusia yang bersendikan pada Al –Quran dan As-Sunah, akan memberikan makna lain. Yang dimaksudkan adalah, dengan aspek – apek potensi manusia yang mempunyai sifat universal itu, pendidikan dalam Islam diarahkan pada pengembangan misi kekhalifahan dan pelaksanaan fungsi pengabdian (ibadah). Dengan kata lain pendidikan Islam mempunyai karakteristik yang tipikal islami dalam arti bahwa proses pendidikan dan produk pendidikan harus di acukan pada misi dan fungsi manusia itu. Seperti juga pendapat Prof. Dr. Djamaludin Darwis tentang karakteristik pendidikan islam bahwa dengan kehalifahan itulah manusia telah dibekali dengan berbagai potensi diri atau fitrah untuk dikembangkan dalam proses pendidikan.[2]
Hal lain yang butuh mendapat perhatian adalah sebagaimana dikemukakan secara eksplisit oleh Hasan Langgulung bahwa pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai – nila islam yang di selaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal didunia dan memetik hasil ahirnya di ahirat.
Secara prinsip dan alamiah, untuk mendapatkan hasil pendidikan yang lebih baik pasti memiliki tujuan, begitupun dengan sistem pendidikan Islam itu sendiri. Bagi pendidikan islam yang sudah berjalan sekian abad sudah pasti di butuhkan peninjauan kembali untuk mengadakan penyesuaiaan dengan tuntutan baru sejalan dengan perkembangan budaya bangsa . Yang dimaksudkan dengan memperbaharui tujuan strategis pendidikan Islam adalah suatu tujuan menciptakan manusia beriman yang meyakini suatu kebenaran dan berusaha membuktikan kebenaran tersebut melalui akal, rasa, feeling dan kemampuan untuk melaksanakannya melalui amal yang tepat dan benar.[3]
Mengapa harus ada revitalisasi konsepsi pendidikan islam? Mungkin pertanyaan itu yang akan muncul dan penulis berusaha menggaris bawahi pertanyaan tersebut dengan melakukan eksplorasi sederhana bahwa pada awal abad ke 21 ini kita sedang berhadapan dengan suatu kondisi yang sangat berbeda dengan era sebelumnya, dimana pada abad ini akan muncul era baru dalam tata kehidupan manusia, baik dalam aspek politik, ekonomi, sosial budaya maupun aspek kehidupan lainnya. Spektrum tantangan di masa depan akan semakin meluas dalam kaitannya dengan fenomena globalisasi. Diantara tantangan utama pendidikan adalah konsistensi pemeliharaan dan pembentukan kepribadian muslim di tengah-tengah berbagai tantangan globalisasi. Maka dengan tantangan di era globalisasi ini pendidikan Islam perlu membangkitkan kembali eksistensinya baik secara kualaitas maupun secara kuantitas. Pentingnya perbaikan ini menjadi sebuah keniscayaan karena berbagai aspek yang mempengaruhi baik perkembangan tekhnologi yang semakin menggila sehingga membuat pendidikan islam menjadi barang yang tabu dan di jauhi karena lebih banyak yang tertarik pada dunia hedonisme dan pendalaman khusus ilmu yang lebih punya spesifikasi untuk dunia kerja atau perkembangan paradigma manusia memahami pendidikan itu sendiri dalam mencapai tujuan duniawi dan tidak mementingkan nilai keislaman yang menjadi pegangan penting dan sakral untuk kebahagian dunia dan ahirat kelak. Maka karena pendidikan islam merupakan sesuatu yang memiliki urgensi yang besar maka konsepsi yang di suguhkanpun meski aplikatif dan konstruktif untuk lebih bisa mempersiapkan generasi muda yang di cita – citakan mampu terealisasi dengan baik serta memberikan banyak kontribusi positif sebagai orang yang berpendidikan ditengah – tengah masyarakat yang heterogen, bangsa dan negara, bahwa konsep pendidikan yang dibangun yang dikerjakan haruslah lebih menekankan pada akal dan menegaskan akal budi guna mempertajam kepekaan sosial. Ini artinya kepekaan sosial menjadi penting untuk lebih bisa memberikan kontribusi positif untuk orang lain, agama, bangsa dan negara.[4]
Pendidikan selama dewasa ini sedang dalam posisi yang dilematis ketika dihadapkan dengan modernisasi dan perkembangan sains yang sungguh luar biasa hebatnya. Sampai saat ini contohnya, mayoritas ahli pendidikan berpendapat bahwa masalah utama yang dihadapi oleh bangsa kita adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai hal telah diupayakan untuk memecahkan persoalan tersebut, mulai dari berbagai pelatihan untuk peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan, perbaikan sarana dan prasarana serta yang paling besar adalah pembaharuan kurikulum pendidikan yang diarahkan pada terwujudnya proses pembelajaran yang berkualitas menuju terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas.
Namun, dari sekian banyak hal yang dikemukakan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keterpurukan pendidikan bangsa kita, berdasarkan analisis sederhana penulis, sedikit sekali yang menyadari bahwa kegagalan sistem pendidikan kita lebih berdasar kepada kesalahan paradigma pendidikan kita yang telah membentuk dikotomi pendidikan di mana terdapat garis pemisah antara agama dan sains. Hal ini terlihat dari pandangan masyarakat kita saat ini sebagai produk dari sistem pendidikan yang telah dijalankan, di mana saat ini masyarakat sudah terlanjur senang- memisahkan antara pengetahuan umum dan agama.
Maka ekses yang luar biasa yang dirasakan adalah ulama yang pintar ilmu agama melihat sains menjadi hal yang paling menakutkan untuk dipelajari dan di amalkan sebagai sesuatu yang positif, begitu pula dengan pakar sains atau ilmuan yang melihat agama sebagai sesuatu yang tabu dan semakin acuh tak acuh, ini yang menjadi persoalan pelik untuk segera di pertemukan perspsinya bahwa pemisahan dan pengotakan antara agama dan sains jelas akan menimbulkan kepincangan dalam proses pendidikan, agama jika tanpa dukungan sains akan menjadi tidak mengakar pada realitas dan penalaran, sedangkan sains yang tidak dilandasi oleh asas-asas agama dan akhlaq atau etika yang baik akan berkembang menjadi liar dan menimbulkan dampak yang merusak. Karenanya konsep pendidikan dalam Islam menawarkan suatu sistem pendidikan yang holistik dan memposisikan agama dan sains sebagai suatu hal yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain.
Dalam pandangan yang realistis ahirnya penulis meyakini dua tokoh yang akan di ambil pemikirannya adalah tokoh yang memiliki perspektif pemikiran dan latar belakang yang berbeda mulai dari latar belakang agama maupun latar belakang pemikiran dalam memahami dan mngembangkan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pertama Syekh Burhanudin Al – Jarnuzi dalam kitab Ta’limul Muta’allim nya yang sudah tidak lagi asing dalam pemikiran dan gagasan strategisnya di wilayah pendidikan tradisional yang hampir di seluruh pendidikan islam atau dengan kata lain pondok pesantren menjadi makanan wajib bagi santri yang dalam pemikirannya sedikit banyak menguak sisi positif bagaimana orang bersikap terhadap ilmu pengetahuan, terhadap buku, guru, mengaplikasikan ilmu dan lain sebagainya.
Dalam ranah kontekstualisasi pendidikan zaman modern skarang ini menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat kita hindarkan bahwa output pendidikan haruslah mampu sekuat tenaga untuk menciptakan nalar berfikir masyarakat yang peduli terhadap realitas masyarakat serta mampu melakukan transformasi dari hasil pendidikan itu sendiri, bukan hanya dirasakan oleh pribadi tetapi disampaikan serta di impelementasikan. ini senada dengan konsep pendidikan transformatif Mohammad Yamin yang berpendapat bahwa pendidikan transformatif adalah konsep pendidikan yang berupaya sekuat tenaga untuk menciptakan nalar berfikir masyarakatyang perduli terhadap realitas masyarakat.

[1] Moh. Yamin, op. cit, hlm. 28.

[1] Aliy As’ad, Terjemah Ta’limul Muta’allim Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, menara Kudus, Kudus: 2007. hlm 1

[1] Moh. Yamin, menggugat Pendidikan Indonesia Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara, Arr – Ruzz Media, Jogjakarta. 2009, hlm. 19
[2] Djamaludin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam Sejarah, Ragam dan Kelembagaan, RaSAIL , Semarang. 2006. hlm. 55

[3] Jusuf Amir Faizal, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani Press, Jakarta. 1995. Hal. 118

[4] Moh. Yamin, menggugat Pendidikan Indonesia Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara,Arr – Ruzz Media, Jogjakarta. 2009, hlm. 172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar