Rabu, 04 Mei 2011

MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM:


 Mencari Format Baru Manajemen yang Efektif di Era Globalisasi

Oleh: Prof. Dr. Tobroni, M.Si.
(Universitas Muhammadiyah Malang Indonesia)
Abstract
Once of characteristic of Islamic education is international  orientation. Statement from Mohammed Prophet to go to study in chine and statement from the Koran to study in the long distant[1] (Q.S. 9:122) showed us if Islamic Education has international   oriented. International Orientation is one important aspects to be international recognition and  reference,  and  viability or sustainability in the future.
There are differences   between internalization and globalization even though both of them have similarities. There are symmetric relation in internationalization, and a-symmetric  relation in the globalization between developed countries and developing countries.  Globalization in education is opportunity for developed counties as provider or exporter education services, and treatment for developing countries as  importer education services. Generally, Moslem counties are developing countries.
Now, Islamic education alike madrasah (school) and pesantren (Traditional Islamic Boarding School) have many problems in all its aspects in bench mark and threshold from vision and mission, learning process, governance, quality of teacher, physic and facilities, finance, and information system.  Even though we don’t agree about negative impact from  globalization, that is a historical necessary. So, Islamic education must to improve and empower  in all components its education. Innovation Islamic Education must be oriented for RAISE: relevant, academic atmosphere, institutional commitment, sustainability and effective productivity.
The importance thing to improve quality of Islamic Education is management and leadership aspects. The prior research show that is correlation between effective school and effective management and leadership. Basically, all models of management and leadership be good and suitable to improve quality of Islamic Education. In this paper, author propose three models of management: management based entrepreneurship,  management based society, and management based mosque;  and two models of leadership: situational leadership and spiritual leadership.
1. Tantangan Internasionalisasi dan Globalisasi
Dalam perbincangan sehari-hari, istilah internasionalisasi kurang popular dibanding dengan istilah globalisasi. Internasionalisasi dan globalisasi Menurut Sofyan Effendi[2] ibarat kembar siam yang hampir sama bentuk fisiknya tetapi berbeda sifat dan wataknya. Penulis mengibaratkan sebagai dua bentuk kolesterol dalam tubuh manusia. Yang pertama (internasionalisasi) diidentikkan dengan kolesterol baik (HDL) yang sangat dibutuhkan oleh manusia, sedang yang kedua (globalisasi) diidentikkan dengan kolesterol jahat (LDL) yang memang jahat, brutal, dan rakus lagi  tamak.
Dunia pendidikan sudah seharusnya diselenggarakan dengan semangat dan orientasi internasional. Hadis Rasulullah yang sangat terkenal memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina (negeri yang jauh). Al-Qur’an Surat Taubah ayat 122 secara tersirat memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu di tempat yang jauh sehingga kalau nantinya kembali dapat memberikan peringatan, pencerahan dan pemberdayaan bagi kaumnya.[3] Internasionalisasi pendidikan merupakan keniscayaan apabila sebuah bangsa ingin memiliki peradaban yang unggul. Pendidikan Islam pada masa Rasulullah sampai abad ke 13 memiliki semangat, orientasi internasional yang kuat. Salah satu contohnya adalah getolnya ilmuwan muslim untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani dan Romawi untuk diterjemahkan, dikritisi dan dikembangkan sehingga melahirkan pemikiran, ilmu dan teknologi baru. Sesungguhnya ilmu pengetahuan, seni dan peradaban itu kata Rasululah merupakan “hikmah yang hilang,  dimanapun dan kepada siapapun, ambillah”.
Internasionalisasi pendidikan adalah upaya mengorientasikan dan menstandarkan mutu dan proses pendidikan melalui kerjasama internasional (antar Negara dan diantara Negara). Dalam internasionalisasi pendidikan, ideologi, tujuan, identitas budaya dan kepentingan   nasional masih menjadi dasar untuk membangun kerkjasama, dan kerjasama itu dilakukan dengan kesadaran dan sukarela. Setiap sekolah bebas memilih sekolah mitra dari luar negeri, memilih jenis dan program kerjasama, memililih waktu dan durasinya.
Baru-baru ini, semangat internnasionalisasi pendidikan mulai berkembang di Indonesia misalnya dengan dibukanya Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI). Juga semakin banyaknya lembaga pendidikan yang melakukan akreditasi dan  standarisasi tidak hanya oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN), tetapi juga badan regional dan internasional semacam Asean Univercity Network (AUN) ataupun Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), International standard Organization (ISO). Semakin berkembang sekolah atau perguruan tinggi yang menjalin kerjasama dalam berbagai bentuk seperti pertukaran guru dan pelajar, pengadaan pilot project bersama, twining programs, sisters schools dan lain sebagainya
.
Sedangkan globalisasi lebih bersifat pemaksaan kehendak, aspirasi dan  kepentingan negara maju terhadap Negara sedang berkembang untuk melakukan integrasi dalam  pasar bebas bersama. Melalui Multi National Corporation (MNC) dan Trans National Corporation (TNC)  yaitu Bank Dunia (World Bank), International Monetary Foundation (IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (world Trade Organization/WTO) globalisasi membonceng neo capitalism, neo liberalism dan neo colonialism. Menurut Stiglitz[4], globaliasi merupakan interdependensi yang a-simetris (tidak sejajar) antarnegara, lembaga, dan aktornya. Negara-negara sedang berkembang yang serba terbatas kemampuan dan ketercukupannya di bidang sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, sistem organisasi, sistem politik, sistem informasi dan komunikasi dan lain sebagainya harus bersaing dengan bebas (tanpa proteksi) dengan kekuatan negara maju yang dimotori oleh Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Persaingan dan pertandingan ini dapat diibaratkan petinju kelas terbang mini harus bertanding dengan kelas berat. Karena itu, interdependesi yang seperti itu jelas lebih menguntungkan negara –negara maju. Padahal, globalisasi awalnya dikampanyekan untuk membuka peluang bagi negara-negara berkembang guna meningkatkan kesejahteraannya melalui perdagangan global, tidak terbukti sama sekali, karena yang terjadi justru sebaliknya yaitu tatanan dunia yang penuh dengan ketidak-adilan, dan bahkan penindasan dan penjajahan baru (neo colonialism).
Menurut Effendi[5], logika yang mendasari ekspansi globalisasi gelombang ketiga diturunkan dari ideologi neoliberalisme, yang di dalam filsafat politik kontemporer memiliki afinitasnya dengan ideologi libertarianisme yang direntang melampaui batasnya yang ekstrem. Seperti halnya dengan libertarianisme yang membela kebebasan pasar dan menuntut peran negara yang terbatas, neoliberalisme percaya pada pentingnya institusi kepemilikan privat dan efek distributif dari ekspropriasi (pengambil-alihan) kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional.
Apa akibatnya kalau  pendidikan termasuk bagian dari komoditi dan komersialisasi sistem ekonomi global? Bagaimana strategi pendidikan Islam menghadapi hal itu? Benarkah globalisasi justru menawarkan peluang yang lebih menjanjikan bagi pendidikan untuk mewujudkan pendidikan bermutu internasional sebagaimana yang mungkin diyakini banyak ahli ekonomi?
2. Dampak Globalisasi bagi Pendidikan Islam
Globalisasi yang berkembang sekarang ini berwajah fundamentalisme pasar bebas dengan berbagai isntrumen pendukungnya jelas tidak menguntungkan negara sedang berkembang, namun globalisasi seperti itulah yang justru "dipaksakan" kepada negara-negara berkembang oleh negara maju melalui gurita pasar bebas yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Dampak globalisasi di bidang pendidikan jelas menguntungkan Negara-negara maju. Masih menurut Sofyan Effendi (2007) tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Eksport mengungkapkan bahwa pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20% pada PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja dan merupakan 20 % dari ekspor total negeri kanguru tersebut.
Negeri-negeri muslim di seluruh dunia yang berpenduduk ± 1, 3 milyard jiwa,  merupakan salah negara-negara tujuan eksportir jasa pendidikan dan pelatihan dari Negara-negara maju. Hal ini diebabkan karena, pertama, perhatian umat Islam dan pemerintah negera-negara di dunia muslim terhadap bidang pendidikan masih rendah. Kedua, secara umum mutu pendidikan negeri-negeri muslim dari sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut sering menjadi alasan untuk "mengundang" masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke negeri-negeri muslim. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sektor jasa tersebut harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS).
Khusus di Indonesia, hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Pendidikan dari perspektif industri tersier memiliki makna ganda: ekonomi, politik, budaya dan bahkan ideologis. Yang melatarbelakangi para provider pendidikan (negara-negara maju)  untuk membangun pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari motif-motif tersebut. Dampak negatip dari hal ini adalah: banyaknya pendidikan dalam negeri –terutama swasta Islam- yang kalah bersaing dan kemungkinan mengakibatkan gulung tikar. Secara politik, ekonomi, budaya, nasionalisme da islamisme anak-anak Indonesia bisa saja akan mengalami persoalan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan mempunyai tiga tugas pokok, yakni pertama, nation and character building atau civic mission. Pendidikan sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa; kedua,  empowering of human resource melalui upaya mempreservasi, mentransfer, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya; dan ketiga, dalam konteks Islam, pendidikan merupakan salah satu media dakwah yang paling efektif. Karena itu, setiap upaya untuk menjadikan pendidikan dan pelatihan sebagai komoditas yang tata perdagangannya diatur oleh lembaga internasional, bukan oleh otoritas suatu negara, perlu disikapi dengan semangat nasionalisme dan Islamisme yang tinggi serta dengan kritis oleh masyarakat negara berkembang.
3. Strategi Pendidikan Islam Menghadapi Globalisasi
a. Perspektif Mikro Kelembagaan
Sebagaimana dikemukakan di muka, globalisasi dan internasionalisasi disamping punya perbedaan juga ada persamaannya. Persamaannya adalah adanya interkoneksitas antar bangsa-bangsa di dunia. Sedang pebedaannya, kalau internasionalisasi berarti go internasional yang artinya kita aktif dan terdapat hubungan yang simetris. Sedang apabila globalisasi berarti sebaliknya yaitu terpengaruhi, termasuki, dan bahkan terkooptasi oleh keadaan global yang  dimotori oleh ”gurita”nya yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Dalam globalisasi, pendidikan Islam berada di pihak yang pasif sebagai akibat dari hubungan yang a-simetris atau persaingan yang tidak seimbang